SEJARAH PERISTIWA MALARI 1974
Peristiwa malapetak lima belas Januari, atau lebih dikenal sebagai peristiwa Malari merupakan peristiwa kerusuhan yang melanda Ibukota Jakarta yang melibatkan demonstran dari kalangan mahasiswa, yaitu Dewan Mahasiswa Universitas Indonesia (DMUI). Bertepatan saat Perdana Menteri (PM) Jepang Kakuei Tanaka sedang berkunjung ke Jakarta untuk menjalin hubungan persahabatan dengan Indonesia.
Demonstrasi kemudian meluas menjadi kerusuhan sosial dikarenakan banyaknya masyarakat utamanya pemuda dan anak-anak perkampungan yang turut serta melakukan demonstrasi sehingga terjadi peristiwa-peristiwa anarkis. Segala sesuatu yang berkaitan dengan Jepang tidak luput dari aksi mereka. Mobil-mobil, motor, serta gedung-gedung yang dianggap berbau Jepang dibakar. Keadaan semakin tidak terkontrol ketika massa juga mulai menjarah toko-toko dan pasar. Akibat peristiwa itu sekurang-kurangnya 11 orang meninggal, 300 luka, dan 775 orang ditahan. Sebenarnya apa yang terjadi?
Investasi dan penebusan dosa-dosa Jepang
Pembenahan infrastruktur serta perbaikan ekonomi merupakan agenda utama Presiden Soeharto. Hal ini dikarenakan tingginya angka inflasi yang menyebabkan kesengsaraan rakyat. Untuk itu Indonesia membutuhkan investor yang besedia mengucurkan dananya dalam jumlah besar. Amerika Serikat dan Jepang merupakan dua negara yang potensial untuk membiayai mega proyek di Indonesia.
Jepang merupakan negara yang tidak asing bagi Indonesia. Semasa Indonesia masih dijajah oleh Belanda, Jepang hadir dan mengklaim sebagai “saudara tua” yang menyelamatkan Indonesia dari belenggu penjajahan. Akan tetapi rupa-rupanya Jepang tidak berbeda dengan negara penjajah lain. Jepang membidik Indonesia sebagai kawasan yang mampu menyediakan bahan baku untuk industrinya sekaligus menancapkan imperialismenya di Asia, serta menjadikan Indonesia sebagai daerah strategis untuk menghadapi perang dunia ke dua. Jepang juga dikenal sebagai penjajah yang cukup kejam dalam memori masyarakat Indonesia, terutama dalam kegiatan romusha dan cara mereka memperlakukan wanita Indonesia sebagai pemuas nafsu tentara Jepang (jugun ianfu).
Kondisi inilah yang kemudian coba diperbaiki oleh Jepang dengan memberikan modal terhadap beberapa proyek pembangunan Orde Baru. Pada tahun 1973, Jepang mengucurkan kurang lebih US $ 534 juta untuk menopang pembangunan ekonomi Indonesia. Akan tetapi, tanpa disadari menimbulkan bibit-bibit kecemburuan pengusaha lokal pribumi, disebabkan perlakuan istimewa terhadap pengusaha-pengusaha Jepang.
Kondisi inilah yang kemudian coba diperbaiki oleh Jepang dengan memberikan modal terhadap beberapa proyek pembangunan Orde Baru. Pada tahun 1973, Jepang mengucurkan kurang lebih US $ 534 juta untuk menopang pembangunan ekonomi Indonesia. Akan tetapi, tanpa disadari menimbulkan bibit-bibit kecemburuan pengusaha lokal pribumi, disebabkan perlakuan istimewa terhadap pengusaha-pengusaha Jepang.
Meletusnya Malari
Pada kenyataannya, pelaksanaan pembangunan tidak berjalan sebagaimana mestinya. Penyimpangan-penyimpangan kerapkali terjadi sehingga menimbulkan gelombang demonstrasi mahasiswa menentang praktik korupsi. Ketidakpuasan mahasiswa serta tokoh-tokoh saat itu juga ditandai dengan ancaman golongan putih – sebuah istilah yang masih asing saat itu – pada pemilu 1971. Selain itu proyek pembangunan yang dilakukan pemerintah kurang dapat dirasakan kalangan bawah, seperti proyek TMII yang menelan anggaran sekitar 10,5 miliar rupiah. Citra pemerintahan Soeharto kemudian diisukan mulai goyah.
Presiden Soeharto dikenal sebagai seorang yang piawai dalam memainkan strategi politiknya. Ia mengangkat orang-orang kepercayaannya duduk di lembaga tak resmi yang ia bentuk. Diantaranya adalah Kopkamtib yang dipimpin oleh Jenderal Soemitro, Opsus (Operasi Khusus) dan Aspri (Asisten Presiden) yang dipimpin oleh Jenderal Ali Moertopo. Tanpa disadari, dualisme ini mengancam pemerintahan Soeharto itu sendiri, sebab kebijakan kedua lembaga tersebut kerapkali bertentangan. Pada akhirnya, rivalitas keduanya semakin meruncing dan saling tuduh hendak menggoyang kursi kepresidenan yang mulai limbung karena gelombang demonstrasi dan ketidakpuasan masyarakat kepada pemerintah. Perseteruan ini berujung pada peristiwa Malari.
Hariman Siregar sejak terpilih sebagai ketua DMUI telah banyak menggelar beragam aksi dan diskusi menentukan sikap terhadap pemerintah. Kedatangan PM Jepang Kakuei Tanaka ke Indonesia hanyalah sebagai momentum demonstrasi mahasiswa untuk menyuarakan aspirasi ketidakpuasan masyarakat atas keterpurukan ekonomi disebabkan gagalnya pembangunan ekonomi dan penyelewengan modal asing. Demonstrasi diawali dari dengan berkumpulnya para mahasiswa di bandara Halim Perdanakusuma pada tanggal 14 Januari 1974 sore hari untuk berdemo menyambut kedatangan Tanaka untuk menyempaikan memorandum tetapi gagal.
Kemudian pada tanggal 15 Januari 1974, mahasiswa berkumpul menuju kampus Universitas Trisakti. Bercampurnya mahasiswa dengan massa non kampus menyebabkan dua versi peristiwa Malari. Pertama, mahasiswa kembali lagi ke kampus usai mendengar kabar terjadi kerusuhan di berbagai tempat yang menjurus anarkis, seperti pembakaran, perusakan gedung, dan penjarahan. Versi kedua, menurut versi pemerintah saat itu, mahasiswa ikut turun ke jalan dan menyebabkan Jakarta memanas. Pasar Senen merupakan kawasan yang terparah, karena hampir mayoritas toko rusak dan dijarah.
Peristiwa tersebut kemudian dikenal sebagai peristiwa Malapetaka Lima Belas Januari (Malari) yang telah mencoreng pemerintah di mata internasional terutama Jepang. Presiden Soeharto kabarnya enggan untuk membicarakan peristiwa yang hampir menggoyang pemerintahannya tersebut. Malari diakhiri dengan penangkapan dan pengadilan Hariman Siregar, tokoh yang dianggap oleh pemerintah sebagai pihak yang harus “mempertanggung jawabkan perbuatan mereka”. []
Post a Comment for "SEJARAH PERISTIWA MALARI 1974"