Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

SEJARAH MASJID AGUNG DEMAK DAN BENTUK AKULTURASINYA

SEJARAH MASJID AGUNG DEMAK DAN BENTUK AKULTURASINYA 



SEJARAH KERAJAAN DEMAK


Kerajaan Demak berdiri kurang lebih mulai tahun 1500-1550 M. Kerajaan Demak didirikan oleh seorang Bupati Majapahit bernama Raden Patah yang berkedudukan di Demak dan memeluk agama Islam. Menurut tradisi seperti yang tercantum pada historiografi tradisional Jawa, Raden Patah adalah seorang putra raja Majapahit dari istri Cina yang dihadiahkan kepada raja Palembang (Kartodirdjo,1999:29). Dengan bantuan daerah-daerah lain di Jawa Timur yang sudah masuk Islam ia mendirikan kerajaan Islam dengan Demak sebagai pusatnya (Soekmono,1981:52).

Demak mencapai puncak kejayaannya pada tahun 1511 M, ketika putra Raden Patah memberanikan diri untuk memimpin sebuah armada menggempur Malaka untuk mengusir Portugis. Tetapi usaha itu gagal, armada Portugis ternyata lebih unggul. Ketika Raden Patah wafat pada tahun 1518, Pati Unus menggantikannya menjadi Sultan. Tetapi tiga tahun kemudian Pati Unus meninggal dan ia dikenal dengan nama Pangeran Sabrang Lor. Penggantinya adalah Pangeran Trenggono yang memerintah sampai tahun 1546 M (Soekmono,1981:53).

Masjid Agung Demak merupakan salah satu benda cagar budaya peninggalan Keraton Kesultanan Demak. Unsur-unsur budaya Islam yang melekat di Demak menjadikan pemerintah menetapkan Demak sebagai “kota wali’ berdasarkan UU RI No. 5/tahun 1992, adapun Masjid Agung Demak dinyatakan sebagai benda cagar budaya berdasarkan Peraturan Pemerintahan/PP. No. 10/tahun 1993 (doc. Takmir Masjid Agung Demak, 2004).


SEJARAH MASJID AGUNG DEMAK


Masjid merupakan bangunan yang berfungsi sakral sebagai tempat peribadatan umat Islam. Masjid diartikan sebagai rumah atau bangunan tempat bersembahyang orang Islam (Kamus Besar Bahasa Indonesia: 2007). Masjid dalam pengertian yang luas adalah setiap sejengkal tanah dimuka bumi dapat digunakan sebagai tempat bersujud kepada Allah. Dalam pengertian sempit, mesjid berarti sebuah bangunan sebagai tempat beribadah kepada Allah dan merupakan pusat kebudayaan Islam (Soekmono, 1981: 75)

Masjid-masjid di Indonesia pada zaman madya memiliki berbagai hal yang menarik perhatian dan ciri khusus pada masjid. Biasanya masjid didirikan di sekitar ibukota kerajaan atau tempat berkedudukannya seorang adipati. Masjid biasanya didirikan dekat dengan istana. Dan disebelah Utara atau Selatan istana terdapat tanah lapang yang di Jawa disebut alun-alun. Maka masjid tersebut didirikan di tepi barat alun-alun (Poesponegoro, 1993: 220). Ciri-ciri tersebut juga terdapat dalam Masjid Agung Demak. Dengan demikian dapatlah diperoleh pemahaman bahwa Masjid Agung Demak mewakili model masjid pada zamannya, yaitu pada masa zaman madya.

Masjid bersejarah ini dibangun melalui tiga tahapan yaitu, 1) semula disebut Masjid Glagahwangi, karena terletak di tengah Pondok Pesantren Glagahwangi yang diasuh dan dipimpin oleh Sunan Ampel yang didirikan tahun 1466 M, 2) setelah Raden Patah diangkat menjadi Adipati Majapahit di Galgahwangi 1475 M, kemudian masjid dilakukan rehabilitasi berat, sejak itu disebuat Masjid Kadipaten Galagahwangi 1477 M, 3) selanjutnya setelah direnovasi disebut Masjid Kasultanan Bintoro sejak 1479 M, setelah Raden Patah disengkuyung oleh Waliyullah untuk menduduki tahta kesultanan I di Pulau Jawa 1478 M (Mahasiswa Pendidikan Sejarah 2005 A: 2007).

Berdasarkan dokumentasi takmir Masjid Agung Demak tahun 2004, setidaknya terdapat beberapa benda arkeologis warisan kerajaan Demak, diantaranya; 1) Masjid konstruksi kayu beratap tumpang tiga, 2) delapan tiang serambi Majapahit, 3) Bedug dan kentongan, 4) Kolam wudhu tempo dulu, 5) dampar kencana, 6) pintu bledheg, 7) gentong kong, 8) piringan keramik, 9) cungkup Sultan Trenggono konstruksi kayu bentuk atap piramida susun dua, 10) Simbul/logo kesultanan Demak, 11) pawestren/musholla wanita, 12) glaslood, 13) Maksurah/kholwat, 14) kaligrafi/ilahiyah, 15) menara azan.


BENTUK AKULTURASI MASJID AGUNG DEMAK


Masuknya pengaruh Islam di Indonesia telah membawa berbagai perubahan di berbagai kehidupan masyarakat. Perubahan tersebut meliputi aspek politik, ekonomi, sosial, dan bahkan kebudayaan di Indonesia. Sebagai contoh, pada bidang politik, masuknya Islam berpengaruh pada munculnya pemerintahan bercorak Islam menggantikan pemerintahan bercorak Hindu-Buddha. Hal ini dibuktikan dengan munculnya kerajaan Islam pertama di Indonesia yaitu Samudera Pasai, serta Kerajaan Demak di Jawa pada permulaan Abad ke-15.

Dr. Soekmono, 1989, menyebutkan bahwa pengaruh Islam telah menentukan jalannya perkembangan serta yang secara nyata-nyata mengubah kebudayaan Indonesia seumumnya. Pengaruh Islam itu pulalah yang memberikan dan menentukan arah baru serta corak khusus kepada kebudayaan bangsa kita dalam zaman madya (Soekmono, 1981: 74).

Salah satu masa yang paling penting dalam perkembangan Islam adalah munculnya Kerajaan Islam Demak di pesisir pantai utara Jawa. Hal ini dikarenakan Demak merupakan peletak dasar proses islamisasi secara terstruktur di nusantara. Kesultanan Demak dibantu oleh para waliyullah yaitu Walisongo mampu menyebarkan Islam dengan metode yang mampu merangkul kebudayaan lokal serta budaya sebelumnya yaitu budaya Hindu-Buddha. Hasil dari proses ini adalah terciptanya akulturasi kebudayaan antara kebudayaan Islam, Hindu-Buddha maupun kebudayaan lokal.

Salah satu hasil kebudayaan pada masa Islam yang paling penting adalah masjid. Masjid merupakan bangunan yang berfungsi sakral sebagai tempat peribadatan umat Islam. Masjid diartikan sebagai rumah atau bangunan tempat bersembahyang orang Islam (Kamus Besar Bahasa Indonesia: 2007). Sedangkan Masjid Agung diartikan sebagai masjid besar dengan bangunan megah dan luas dan dapat menampung ratusan jemaah (KBBI: 2007).

Masjid Agung Demak merupakan salah satu bukti peninggalan Kesultanan Demak. Masjid Agung Demak sebagai peninggalan Kerajaan Demak seringkali memperlihatkan ornamen dan arsitektur yang menarik. Arsitektur ini merupakan hasil adanya akulturasi kebudayaan yaitu antara kebudayaan Islam, Hindu Buddha, budaya lokal (Indonesia) serta kebudayaan asing.

Masjid Agung Demak merupakan salah satu benda cagar budaya peninggalan Keraton Kesultanan Demak. Unsur-unsur budaya Islam yang melekat di Demak menjadikan pemerintah menetapkan Demak sebagai “kota wali’ berdasarkan UU RI No. 5/tahun 1992, adapun Masjid Agung Demak dinyatakan sebagai benda cagar budaya berdasarkan Peraturan Pemerintahan/PP. No. 10/tahun 1993 (doc. Takmir Masjid Agung Demak, 2004), dan diperbaharui dengan keluarnya UU No. 5 /1995.

Masjid Agung Demak memiliki bentuk bangunan yang sangat unik dan memiliki simbol-simbol yang terkandung dalam bangunan tersebut. Bangunan itu dibangun berdasarkan akulturasi dari berbagai kebudayaan seperti kebudayaan lokal, Islam, Eropa, China dan juga Hindu-Budha. Dalam perkembangannya simbol-simbol tersebut dapat digunakan oleh sejarawan untuk mengetahui kehidupan dan kondisi masyarakat Demak pada saat itu (Mahasiswa Pendidikan Sejarah 2005 A; 2007).

Blog ini nantinya juga akan memaparkan tentang beberapa keunikan pada bagian-bagian Masjid Agung Demak yang memiliki makna simbolisme (baca di sini). Berdasarkan penelusuran yang dilakukan dengan melakukan observasi di lapangan, penulis mencatat setidaknya terdapat beberapa bagian masjid Agung Demak yang memiliki keunikan dan sarat makna simbolis. Diantaranya, atap tumpang tiga, menara masjid, bedug dan kentongan, pintu bledheg, mimbar Majapahit, soko guru, bulus yang menunjukkan candrasengkala, dampar kencana, pasujudan, situs kolam wudhu bersejarah, serta makam di sekitar kompleks masjid. mengenai pembahasan masing-masing bagian tersebut, bisa Anda baca pada bagian lain pada blog ini. []

Kepustakaan;


Dokumentasi Takmir Masjid Agung Demak. 2004. Museum Masjid Agung Demak, Jawa Tengah.

Mahasiswa Pendidikan Sejarah 2005 A. 2007. “Pesona Masjid Agung Demak sebagai Daya Tarik Wisata Keagamaan (pilgrim)”. Laporan Kuliah Kerja Lapangan II. Semarang: Universitas Negeri Semarang.

Soekmono, Dr. 1981. Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia 3. Yogyakarta: Kanisius.

Tim Penyusun. 2007. Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi III. Jakarta: Balai Pustaka.

Post a Comment for "SEJARAH MASJID AGUNG DEMAK DAN BENTUK AKULTURASINYA "